Menggunakan Kacamata Akidah dalam Ber-Islam

Pada dasarnya segala sesuatu yang ada di dunia itu akan memiliki suatu hal yang pokok.  Dari hal pokok itu nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi hal lain yang lebih besar. Tanpa hal pokok tersebut maka mustahil sesuatu tersebut akan hidup dan tumbuh. Begitu pula dalam Islam sebagai dien, tentu memiliki suatu hal yang sifatnya pokok yaitu Akidah Islamiyah yang menjadi pondasi dan landasan.

Secara terminologi Akidah berasal dari kata Aqoda, Yaqidu, Aqidatan yang berarti simpul, ikatan, sesuatu yang mengikat. Dengan demikian maka orang yang berakidah adalah orang yang memiliki keterikatan. Jika dia berakidah Islam tentulah dia memiliki keterikatan dengan Islam, sedangkan jika tidak memiliki keterikatan dengan Islam maka dia belum berakidah Islam.

Pokok penting yang harus dijadikan pegangan adalah akidah merupakan suatu hal yang pokok, fundamen, dan asasi dalam keimanan, sehingga seseorang yang melafadzkan kalimah “Asyhaddu AnLaa illa ha ilallah wa Asyhaddu anna Muhammadarrosulullah” adalah orang-orang yang beriman, bukan orang-orang kafir atau musyrik. Ikatan tersebut menjadi parameter beriman tidaknya seseorang dan menunjukkan status dirinya di hadapan Allah.
Dengan begitu pentingnya posisi akidah maka sebagai hamba Allah maka akidah ini wajib dipelihara, dipentingkan, dipenuhi, dan dibuktikan kepada Allah sehingga si mukmin tidak bisa melepaskannya.

Pokok akidah Islam yang perlu dimiliki oleh seorang muslim adalah Tauhid. Tauhid adalah penghujaman prinsip-prinsip keesaan dalam penyembahan kepada Allah. Intinya adalah pemahaman dalam diri bahwa satu-satunya dzat yang wajib disembah dan diibadahi hanya Allah. Murni, ikhlas, tidak ada percampuran antara yang haq dan yang bathil, dan dilakukan secara sungguh-sungguh tidak setengah-setengah.

Konsep tauhid sendiri pada dasarnya selaras dengan QS. 48:28

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi”.

Tauhid intinya dibangun oleh Tauhidullah (kesatuan penyembahan kepada Allah), Tauhidurrosul (kesatuan dalam kepemimpinan kepada rosul), Tauhidulhudan (kesatuan dalam memegang petunjuk dan pedoman hidup yaitu Qur’an), Tauhiduldienulhaq (kesatuan dalam dien Islam yang haq yang harus dimenangkan).

Konsekuensi seseorang yang memegang tauhid sebagai akidahnya maka akan tercermin dalam sikapnya yang (furqon) baik secara individu maupun sosial. Ini tercermin dari visi dan misinya dalam hidup.

Dengan memegang dan berlandaskan akidah tauhid dalam hidup, maka paradigma berpikir, bersikap, dan melihat segala persoalan akan menggunakan kacamata akidah, sehingga seseorang tidak akan mudah terjebak pada paham rasionalisme, materialisme, bahkan eksistensialisme.

Memegang akidah tauhid sebagai landasan bahkan kacamata hidup berarti setiap langkah, pola perjuangan dan untaian sejarah yang akan dibentuk mengacu pada prinsip-prinsip perjuangan Rasulullah, bukan tindakan yang lahir atas kreativitas akal, aksi-reaksional situasi, bahkan nafsu duniawi.

kacamata akidah

Memahami sejarah perjuangan Rosulullah pada akhirnya akan melahirkan kesatuan langkah dan ikatan bahwa perjuangan hidup yang dilakukan harus seperti itu, bukan sebatas cerita, dongeng, atau mitos. Hal itu pula akan menjadi parameter benar tidaknya apa yang selama ini dilakukan. Sejarah Rosulullah dalam perjuangan penegakan Dien islam akan menjadi cermin yang berharga dalam mengevaluasi pola langkah dan tindakan kita selama ini. Walaupun secara kontekstual dan teknis dapat berubah sesuai perkembangan jaman namun, prinsip-prinsip yang diterapkan adalah sama yaitu furqon. Ini terbukti pula oleh perjuangan yang dilakukan oleh Rosul-rosul dan nabi-nabi sebelum Muhammad yaitu, Landasannya (mabda-nya) jelas yaitu Tauhid (ibadah dalam rangka pengesaan secara totalitas dalam hidup kepada Allah), pola perjuangannya (manhaz-nya) yaitu manhaj nubuwah (berdasarkan pada prinsip furqon, pemisahan dan pemurnian secara jelas antara yang haq dan yang bathil), tujuan akhirnya (ghoyah-nya) yaitu tegaknya dien Islam di muka bumi ini. Ketiga hal tersebut menjadi satu ikatan yang integral dan tak terputus, sehingga dalam berjuang ketiga hal tersebut harus terpenuhi bukan salah satunya, atau sebagian-sebagian.

Jika ditarik pada bagaimana sejarah perjuangan Islam di Indonesia, kenapa hal ini penting untuk dipahami dan diketahui karena menyangkut identitas kita. Apakah perjuangan dan sejarah yang selama ini dibangun memiliki keterikatan dengan perjuangan Rosulullah. Tentunya untuk memahami hal ini harus dilihat dari kacamata akidah. Menelusuri sejarah tentunya bukan sesuatu yang mudah dan dapat melahirkan berbagai persepsi ketika tidak kembali pada objek sejarah itu sendiri. Menggunakan kacamata akidah dalam memandang sejarah artinya menelusuri sejarah dengan terlebih dahulu memahami objek sejarah yaitu manusia, bukan pada parsial peristiwa, waktu, dan tokoh tapi lebih pada hal yang mendasar yaitu konsep tentang manusia itu sendiri. Oleh sebab itu ketika menelusuri sejarah harus berdasarkan pada konsep “hakikat manusia” (ma’rifatul insan). Melihat manusia sebagai individu yang memiliki tugas beribadah, fungsi sebagai kholifah, dan peranan dalam menegakkan dien Islam.

Dengan berbekalkan pemahaman yang utuh tentang “manusia” secara akidah (ma’rifatul Insan) maka sejarah yang dikaji akan jelas dan tidak mudah terperdaya oleh hal-hal yang salah. Intinya kacamata akidah menjadi pondasi dalam segala sesuatu termasuk dalam mengkaji sejarah yang ada.

2 tanggapan untuk “Menggunakan Kacamata Akidah dalam Ber-Islam”

Tinggalkan komentar